Kafir Itu Bukan Tak Percaya Tuhan Selain Allah: Inilah Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali

Resti Damayanti
5 min readMar 13, 2024

--

Sumber: Dokumen Pribadi

Tulisan ini akan membawa kamu menyelami kehidupan Imam Al-Ghazali, tokoh muslim besar di bidang Tasawuf. Salah satu pemikirannya adalah definisi ‘kafir’ yang nantinya akan dijelaskan lebih rinci beserta pertanyaan lainnya seputar kehidupan.

Imam Al-Ghazali dijuluki Bapak Tasawuf modern. Ia juga diberi gelar Hujjatul Islam atau pembela islam. Menurut salah satu kitab yang ditulisnya, yakni Ayyuhal Walad, ia mendefiniskan Tasawuf sebagai berikut:

’’Ketahuilah tasawuf memiliki dua pilar, yaitu istiqamah bersama Allah dan harmonis dengan makhluk-Nya. Maka siapa saja yang istiqamah bersama Allah, berakhlak baik terhadap manusia, dan bergaul dengan mereka dengan santun, maka ia adalah seorang sufi.’’

Pemikiran Al-Ghazali mengenai filsafat banyak disoroti dan dijadikan rujukan oleh sarjana barat, khususnya terkait posisinya dalam memandang ekstensi pemikiran filsafat dan kritiknya atas para filsuf, termasuk filsuf islam. Meski ia lahir di keluarga pengrajin wol, naumn saat ini, ia dikenal sebagai ulama besar islam. Al-Ghazali juga menjawab beberapa pertanyaan kehidupan yang terkadang sering kita pikirkan.

Riwayat Singkat Al-Ghazali

Al-Ghazali juga dikenal dengan nama Abu Hamid, yang berarti Bapak Hamid. Ia lahir pada 450/1058 di Kota Thus, Khurasan, Persia (Iran) atau sekitar 4,5 abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah Makkah-Madinah. Melihat tahun ia dilahirkan, ia hidup di abad ke 11 Masehi, setelah bangsanya mengalami banyak pengaruh agama islam karena penduduk Persia mulai mengenal islam sejak abad ke 7 dan puncaknya abad ke 9.

Sejak kecil, Al-Ghazali sering dititipkan ke teman bapaknya untuk belajar banyak hal. Bapaknya bekerja sebagai pengrajin wol. Meski demikian, ia sering belajar dan kerap berdiskusi dengan para agamawan. Namun saat uang tabungan habis, Al-Ghazali diarahkan untuk masuk ke madrasah, dengan begitu ia menimba ilmu serta mendapati fasilitas secara gratis.

Dari masa kecil hingga masa muda, ia beberapa kali menimba ilmu di berbagai tempat dengan guru yang berbeda. Saat usianya masuk 28 tahun, Al-Ghazali sudah menguasai teologi, filsafat, tasawuf, fiqh, ishul fiqh, tafsir, akhlak, retorika, bahasa, pendidikan islam, hukum, dan masalah kejiwaan. Bahkan ia menjadi guru besar di usianya yang ke 34 tahun, menggantikan gurunya.

Jalannya memilih sufisme tidak serta merta dipilihnya secara singkat. Ia mengalami beberapa fase. Al-Ghazali sempat mempelajari ilmu-ilmu rasional yang didapatkan saat ia mengajar di institusi akademik sebagai dosen, lalu mempelajari filsafat metafisika, hingga ada tahap dimana Al-Ghazali memvonis beberapa aliran filsafat.

Fase terakhir Al-Ghazali terjadi saat ia akhirnya memilih filsafat moral ketimbang filsafat rasional. Ia sangat tertarik dengan persoalan akhlak dan tasawuf yang kemudian dituangkan dalam karya-karyanya. Ia merasa telah mendapatkan pengetahuan yang dibukakan oleh Tuhan dan pengetahuan tersebut baginya layaknya rahasia hakikat kebenaran yang dicari selama hidupnya. Tercatat, ada sebanyak 70-an kitab, karya Al-Ghazali yang ditulis sejak ia masih muda.

Sumber: Pondok Pesantren Lirboyo

Pandangan Al-Ghazali, Menjawab Beberapa Pertanyaan Kehidupan

Hal yang menarik dari buku ini adalah, adanya pemikiran atau pandangan Al-Ghazali terhadap beberapa pertanyaan kehidupan. Jawaban yang ia jelaskan merupakan hasil dari saduran pendapat para gurunya, yang kemudian ia telaah kembali dengan penuh kehati-hatian. Beberapa pertanyaan tersebut di antaranya:

Bagaimana Al-Ghazali memandang anjing? Menurut Al-Ghazali, anjing tak selamanya berkonotasi ke hal kurang patut. Ia berpendapat bahwa anjing dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia, seperti peran anjing sebagai penjaga. Dalam hal ini, ia mencontohkan kisah cerita kesetiaan anjing Qithmir, anjingnya Ashabul Kahfi.

Perbuatan manusia, diwujudkan manusia atau diwujudkan Allah? Menurutnya, manusia tak tak memiliki kuasa mutlak atas perbuatan yang dilakukannya. Kemampuan manusia melakukan suatu perbuatan bukanlah milik manusia, Allah-lah yang menciptakan perbuatan itu. Tuhan tidak menciptakan daya dan kemampuan kepada manusia untuk melakukan perbuatan, Dia juga tak menciptakan perbuatan yang dilakukan manuisia.

Al-Ghazali berpendapat bahwa iman itu bukan pembenaran Tiada Tuhan Selain Allah, tapi? Pembenaran atas segala sesuatu yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Ia menegaskan orang yang percaya tiada Tuhan selain Allah tak cukup disebut beriman, tetapi ia yang membenarkan ajaran Rosulullah. Al-Ghazali menjunjung tinggi peran Nabi Muhammad untuk menentukan iman dan kafir. Sehingga ia menyimpulkan, siapapun yang mendustakan Nabi Muhammad SAW, maka Seseorang itu berstatus kafir.

Ada Hadis Rasulullah “Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, dan semuanya akan masuk surge kecuali golongan Kaum Zindiq, Bagaimana Al-Ghazali mendefinisikan Kaum Zindiq? Ada 2 kategori zindiq: (1) zindiq mutlak, yakni seseorang yang mengingkari adanya pencipta alam semesta dan juga tak menerima konsep pengulangan pembangkitan di akhirat secara aqliyah dan indrawi; (2) zindiq terikat, yakni seseorang yang menerima pengulangan kebangkitan secara akal, tetapi menolak kenikmatan dan kesakitan indrawi. Juga mengukuhkan adanya pencipta alam semesta tetapi menolak ilmu terkait detail-detail pengetahuan.

Ajaran dan Nasihat Al-Ghazali

Selain menjawab pertanyaan di atas, Bapak Tasawuf Modern ini juga memberikan berbagai ajaran-ajaran dan nasihat dari ilmu yang didapatnya dan pengalaman yang dialaminya. Beberapa pendapat Hujjatul Islam ini di antaranya pembelajaran mengenai cinta, pertemanan, dan pengamalan ilmu.

Bagian pertama, Cinta. Cinta tak mungkin timbul apabila tak ada pengetahuan serta pemahaman akan sosok yang dicintai. Seseorang tak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu yang telah ia kenali betul-betul. Dalam hal ini, Al-Ghazali menjelaskan tidak ada sesuatu yang lebih layak dicintai selain Allah. Adapun penyebab cinta menurutnya adalah:

1. Kecintaan pada dirinya sendiri atas kesmepurnaannya. Biasanya, cinta jenis ini dapat diukur dari sudut pandang pribadi.

2. Cinta yang berhubungan dengan perbuatan baik orang lain kepadanya, sehingga mereka akan saling memberikan kebaikan.

3. Kecintaan kepada orang baik meskipun seseorang itu tak memperoleh kebaikan secara langsung. Al-Ghazali mencontohkan kategori cinta ini adalah cinta kepada Nabi Muhammad

4. Kecintaan pada segala sesuatu yang baik dan indah, baik secara batin maupun lahir. Ini merupakan jenis cinta tanpa embel-embel. Ia tak melihat sosok, tetapi fokus kepada nilai.

5. Cinta yang merasuk kepada diri 2 orang, yang kemudian membawa mereka pada hubungan tertentu dan melahirkan keterikatan batin di antara keduanya.

Bagian kedua, teman. Menurut Al-Ghazali dua orang teman yang bertemu layaknya dua buah tangan, yang satu membasuh tangan yang lainnya. Ada 5 sifat dan karakter berharga yang harus dimiliki seseorang untuk bisa dijadikan teman menurutnya adalah: kecerdasan, pengendalian diri, standar moral yang tinggi, tak tamak, dan ketulusan dalam berteman.

Membaca kehidupan Al-Ghazali akan membawa kita menyelami samudera keilmuan dan pengalaman. Ia mempelajari banyak sekali keilmuan saat masih muda hingga melalui 4 kali fase. Mencari ilmu itu wajib, dan Al-Ghazali mengatakan setiap ilmu harus juga harus disertai dengan amal.

“Apabila engkau timbang dua ribu kilogram anggur, tidak akan membuatmu mabuk jika kau tidak meminumnya.”

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Judul Buku: Imam Al-Ghazali: Biografi Lengkap Sang Hujjatul Islam

Penulis: M. Kamalul Fikri, S.Th.I., M.A.

Penerbit: LAKSANA

Tebal Buku: 170 halaman

Tahun terbit: 2022

--

--

Resti Damayanti
Resti Damayanti

Written by Resti Damayanti

Every journey must have a story, because every story always make a great history

No responses yet